All for Glory of Jesus Christ

Saya sering mendengar bahwa pria jatuh cinta pada wanita cantik, sementara wanita jatuh cinta pada pria mapan. Sebenarnya istilah jatuh cinta di sini adalah keliru. Bisa dikatakan bahwa hal itu hanyalah suatu mitos.

Istilah jatuh cinta di sana seharusnya digantikan dengan kata ketertarikan. Mengapa saya katakan bahwa hal tersebut adalah mitos jatuh cinta? Karena sebenarnya cinta itu bukan masalah kecantikan atau kemapanan.

Mari kita lihat dalam 1 Korintus. Cinta adalah:

“Sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”

Jadi tidak ada yang namanya jatuh cinta. Apalagi kalau dikatakan jatuh cinta kepada wanita cantik atau jatuh cinta kepada pria mapan. Itu sama sekali tidak benar. Jika mau ditelaah lebih jauh, cinta merupakan tindakan.

Seluruh aspek cinta adalah tindakan. Kata-kata sifat yang disebut di atas sebagai aspek cinta, walaupun ditulis dalam bentuk kata sifat tapi pada dasarnya dapat dideteksi dalam bentuk tindakan yang dilakukan.

Sangat menarik bahwa tidak ada satupun kata mengenai cantik atau mapan. Lebih lanjut lagi, tidak ada kata-kata lain yang menyangkut kategori. Misalnya saja: pintar, humoris, romantis, dan lain-lain.

Kalau demikian, sebenarnya selama ini terjadi kesalahpahaman mengenai cinta dan ketertarikan. Cinta merupakan proses. Cinta itu bertumbuh. Cinta tidak berupa perasaan sesungguhnya, tetapi lebih merupakan keputusan.

Kembali merupakan mitos jika dikatakan sudah tidak merasa cinta lagi. Itu adalah kekeliruan. Jika cinta hanya berupa perasaan, sungguh sangat sulit untuk mempertahankan hubungan berpacaran, lebih-lebih lagi hubungan pernikahan.

Cinta berupa tindakan. Tindakan timbul karena keputusan. Keputusan diambil karena berdasarkan pemikiran dan ketetapan hati. Pemikiran dan ketetapan hati pada akhirnya akan mempengaruhi perasaan.

Kalau mau dipikir-pikir, mengapa pria umumnya tertarik pada kecantikan dan wanita kepada kemapanan? Hal ini berkaitan erat dengan kebutuhan masing-masing pria dan wanita.

Pria memiliki kebutuhan untuk dihormati dan dihargai. Memiliki pasangan yang cantik dalam pandangan umum membuat pria merasa semakin dihargai. Padahal dalam kenyataannya sang wanita cantik ataupun tidak, hal itu tidak akan menambah atau mengurangi rasa penghargaan seseorang kepada pria tersebut.

Hanya saja karena sudah begitu tertanam dalam diri pada kebanyakan pria bahwa memiliki pasangan cantik itu adalah meningkatkan nilai dirinya, hal ini membuat suatu mitos lagi dalam urusan cinta ini. Bahwa seorang pria yang mendapatkan pasangan wanita cantik itu hebat. Ah, sangat dangkal sebenarnya penilaian ini.

Kalau mau dipikir-pikir sebenarnya di dunia ini berlaku hukum ekonomi. Semakin tinggi penawaran, harga suatu produk semakin tinggi. Bukannya bermaksud untuk menyamakan wanita dengan produk, hanya saja saya menggunakan hukum ini untuk menjelaskan maksud saya.

Jika semua pria sepakat bahwa wanita cantik itu memang bernilai tinggi, maka semua pria akan berusaha keras untuk mendapatkan wanita cantik. Dengan demikian akan semakin sulit untuk mendapatkan wanita cantik. Mengapa? Karena semua pria menginginkan wanita cantik.

Hal yang sama juga berlaku untuk wanita yang memiliki kebutuhan untuk merasa aman. Kemapanan pria dapat memenuhi kebutuhannya akan rasa aman. Padahal dalam kenyataannya rasa aman yang sejati itu letaknya di dalam diri wanita itu sendiri; bukan di luar dirinya, apalagi dalam bentuk kemapanan seorang pria.

Rasa aman yang sejati hanya bisa diperoleh dari Tuhan. Jika seorang wanita sudah sungguh-sungguh bisa menerima dirinya, mengasihi dirinya, juga mengasihi Tuhan; ia akan merasa aman.

Hukum ekonomi juga berlaku untuk kasus pria. Jika semua wanita sepakat bahwa pria mapan itu bernilai tinggi, maka semua wanita akan berusaha keras untuk mendapatkan pria mapan.

Jadi kalau begitu, berdasarkan kesepakatan nilai tersebut; hal yang paling ideal adalah pria mapan berpasangan dengan wanita cantik bukan? Hanya saja, fakta membuktikan bahwa kesepakatan nilai tersebut ternyata tidak selalu berakhir baik.

Mari kita tinjau contoh Pangeran Charles dan Putri Diana. Sang pangeran merupakan pria mapan. Sang putri merupakan wanita cantik. Pernikahan yang seperti dalam cerita dongeng saja.

Hanya saja ternyata pernikahan mereka berakhir tragis. Sang pangeran ternyata mencintai wanita yang relatif tidak secantik sang putri. Terbukti bahwa cinta bukan hanya melulu masalah kecantikan dan kemapanan.

Jadi kalau begitu, salahkah kalau seorang pria tertarik pada wanita cantik dan seorang wanita tertarik pada pria mapan? Tentu saja tidak salah, tetapi jelas keputusan untuk mencintai bukan hanya terpatok hal tersebut.

Comments on: "Mitos Cinta: Kecantikan dan Kemapanan" (2)

  1. blackenedgreen said:

    Ada yang bilang hormon, ada yang bilang genetik. Waktu di SMA dulu, persepsi saya tentang “cantik” sering terdistorsi. Awalnya seorang teman wanita itu biasa-biasa saja (dari segi penampilan), perilakunya sama sekali tidak menarik bagi saya, tapi karena banyak teman-teman pria lain yang mengatakan bahwa dia cantik, saya jadi berpikir “jadi itu yang namanya cantik?”

    Kalau baca buku “Next” dari Crichton, ada hal yang lucu disana, bahwa wanita berambut pirang terjadi karena penyesuaian genetis di era cro-magnon (? saya lupa) untuk menarik pria, karena pada saat itu, rambut pirang dianggap lebih bermutu(?), untuk menyambung keturunan. Bermutu? Cantik?

    Kutipan dari 1 Korintus itu saya coba sederhanakan dari persepsi simpel: common sense, kalau ditanya apa yang saya cari dari seorang wanita yang akan saya jadikan pendamping hidup? jawaban pertama saya adalah common sense.

    Pria mapan, pria seperti apa yang dikatakan mapan? Kalau dilihat secara holistik, tidak ada tuh yang namanya pria mapan, semuanya bisa hilang once God snap His (or Her) fingers.

    • Nilai yang berlaku saat itu memang bisa mempengaruhi penilaian kita akan hal-hal yang kita anggap cantik dan mapan. 1 Korintus sebenarnya sulit dilihat dalam common sense, karena kalau mengikuti common sense maka orang akan lebih memilih mengasihi diri sendiri daripada orang lain. Sementara di 1 Korintus justru menempatkan kasih kepada orang lain lebih daripada kasih kepada diri sendiri.

Tinggalkan Balasan ke blackenedgreen Batalkan balasan